Kota Ikan Muncar Banyuwangi

Muncar Pertahankan Peralatan Tradisional



ADA kampung unik di Banyuwangi, perkampungan nelayan di Muncar. Nelayan yang mendiami kawasan pantai ujung timur Jawa ini hidup turun-temurun menjadi pelaut. Uniknya lagi, nelayan di sini hingga kini menolak menggunakan peralatan modern, walaupun mampu membeli yang supercanggih sekalipun, Mereka berharap, Selat Bali satu-satunya sandaran hidup mereka tetap menghasilkan ikan sepanjang zaman. Rasa sayangnya kepada laut, seolah melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri. Kelestarian Selat Bali demi masa depan anak-cucu inilah yang menjadi penyebab mereka menolak menggunakan peralatan modern.Mereka hidup di sepanjang pantai yang membentang sejauh lebih dari 50 km arah tenggara kota Banyuwangi. Mereka mendiami beberapa desa di pesisir, seperti Tembokrejo dan Kedungrejo, dua desa yang paling banyak ditempati nelayan. Kedungrejo, hampir 90% masyarakatnya hidup sebagai nelayan.


Ini Kampungku Muncar , awalnya dulu nelayan Muncar mencari ikan menggunakan perahu tradisional yang sangat sederhana. Mereka berangkat malam hari dan pulang keesokan paginya. Perahu ini hanya mampu berlayar di sekitar kawasan Selat Bali, tepatnya di dekat perairan Sembulungan. Dulu, mereka hanya menggunakan dayung sebagai tenaga penggerak perahu. Alat tangkapnya sederhana, terbuat dari pancing dan jaring kecil. Ketika itu, nelayan Muncar tidak pernah kesulitan mendapatkan ikan dalam jumlah besar. Tiap kali melaut, membawa pulang ikan satu perahu penuh,

Teknologi baru yang mulai ditawarkan disambut antusias. Tahun 1963, adalah tonggak beralihnya nelayan tradisional menjadi sedikit modern. Perahu nelayan berubah sedikit besar. Mereka mulai mengenal perahu slerek yang berukuran besar dengan panjang sekitar 7 meter. Namun, mereka masih tetap menggunakan dayung. Hasil tangkap kala itu maksimal 3 kuintal ikan.Tahun 1972 alat tangkapnya bertambah modern. Ukuran perahu slerek makin besar. Dayung mulai ditinggalkan dan diganti tenaga mesin tempel. Alat tangkap jaring berubah menjadi raksasa dengan ukuran 29 x 100 meter. Mesin yang digunakan masih bertenaga bensin. Satu perahu maksimal ditempeli dua mesin. Jarak tempuhnya maksimal 50 km dari bibir pantai dengan daya angkut ikan 5 ton.

Perahu Slerek Muncar



Tahun 1974, mereka memiliki alat tangkap ikan jenis purse seine dengan kemampuan daya tangkap 15 ton. Jaring yang digunakan berukuran dua kali lipat dari sebelumnya. Karena mahalnya peralatan, saat itu perahu dengan peralatan purse seine hanya 11 buah. Pembelian peralatan itu ditangani KUD Mino Blambangan sebagai pemilik modal kapal.Keberadaan kapal modern ini tidak bertahan lama. Satu tahun kemudian muncul konflik di Muncar. Ditengarai ada diskriminasi pemberian modal dari KUD, nelayan akhirnya menggelar aksi protes. Beberapa perahu slerek milik KUD dibakar massa. ‘’Akhirnya kami berinisiatif membeli perahu sendiri dengan cara patungan sesama nelayan,’’ kenang H. Nikmat, salah seorang nelayan senior di Muncar.

Membludaknya hasil tangkapan ikan, membuat perkembangan ekonomi nelayan Muncar meningkat pesat. Slerek baru dengan ukuran besar dan peralatan canggih saling bermunculan. Tenaga motor penggerak berubah menjadi mesin diesel dengan kekuatan lebih besar. Satu perahu bisa menggunakan 4-5 mesin diesel berkekuatan 30 pk. Perahu ini mampu mengangkut ikan hingga 30 ton dengan jumlah ABK 50-60 orang. Selama puluhan tahun, nelayan Muncar terus dimanjakan dengan melimpahnya hasil tangkapan ikan.Tahun 1997 masalah muncul. Seiring menipisnya hasil tangkapan ikan, datanglah sejumlah nelayan andon dari Tuban dan Lamongan. Awalnya, mereka tidak terusik dengan datangnya nelayan andon yang memiliki alat tangkap jauh lebih canggih. ‘’Kala itu jumlah mereka tidak lebih dari 11 kapal,‘’ ungkap Nikmat.

Merasa ikut dimanjakan oleh perairan Selat Bali, jumlah nelayan andon terus bertambah. Hanya dalam hitungan bulan, jumlahnya mencapai 45 kapal, bahkan tahun 2001 mencapai 140 kapal, Membludaknya nelayan andon, menjadi batu sandungan besar bagi nelayan Muncar. Nelayan andon dinilai mencaplok lahan penghidupan nelayan lokal yang lebih dulu hidup di sana. Konflik tak bisa dihindari. Puncaknya, nelayan Muncar menggelar aksi demo di kantor DPRD Banyuwangi tahun 2001. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyetujui tuntutan mereka yang meminta dipulangkannya nelayan andon dari perairan Muncar.

Pantai Muncar



Nelayan andon dituding mengeruk habis ikan-ikan di perairan Selat Bali. Mereka menggunakan jaring sejenis pukat harimau yang mampu mengeruk semua ikan berbagai ukuran. “Sejak kedatangan nelayan andon, hasil tangkapan kami rata-rata turun hingga 75%. Jika mereka terus dibiarkan di Muncar, mau makan apa anak cucu kami,” keluh H. Nikmat.Nelayan lokal dan nelayan andon memiliki cara tangkap berbeda. Nelayan lokal dengan peralatan tradisional memilih menangkap ikan dengan tanpa lampu. Nelayan andon justru menggunakan lampu terang-benderang. Lampu yang terang konon justru membunuh mata pencaharian nelayan lainnya.

Ikan itu sukanya di tempat gelap. Kalau ada lampu dia akan berdiam di sana. Jadi hanya nelayan andon yang bisa menangkap ikan. Nelayan lokal hanya gigit jari,” ujarnya., Kenapa nelayan lokal tidak membeli alat tangkap seperti andon? Pertanyaan ini dijawab senyuman oleh H. Nikmat yang mengaku telah puluhan tahun menjadi nelayan. Ia mengatakan, sebenarnya nelayan Muncar mampu membeli peralatan yang lebih canggih dari nelayan andon.

Sebelum kedatangan nelayan andon, investor Korea Selatan dan Jepang pernah menawari kerja sama pemberian alat tangkap yang paling canggih. “Kami menolaknya. Alasannya, nelayan di sini bukan orang-orang rakus yang hanya mementingkan kehidupan sekarang. Jika kami menggunakan peralatan supercanggih yang terus mengeruk hasil laut, terus anak cucu kami nantinya menikmati apa,” ucapnya berapi-api.Pandangan inilah yang mendorong nelayan Muncar tetap bertahan dengan peralatan tradisional dalam mencari ikan. Mereka lebih mengedepankan naluri dan kebersamaan ketika turun ke laut. Mereka selalu berpikir bagaimana memberikan warisan yang baik berupa kekayaan laut kepada generasi penerusnya.



Hasil Tangkapan kian Menurun

DATA Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi menyebutkan jumlah nelayan di Muncar 10.707 orang dari keseluruhan jumlah nelayan di Banyuwangi, 18.839 orang. Yang digunakan 2.444 perahu berbagai jenis dan ukuran ada perahu besar yang dikenal dengan sebutan slerek, paying, gillnet, pancing, bagan, sero, sotok. Perahu slerek paling mendapat perhatian nelayan Muncar. Pasalnya, perahu ini memiliki alat tangkap jenis purse seine yang mampu menangkap ikan dalam jumlah besar.

Tiap tahun hasil tangkapan ikan di perairan Selat Bali kian menurun. Penelitian yang dilakukan pemerintah setempat bersama instansi terkait mencatat, hasil tangkapan ikan cenderung menunjukkan grafik menurun. Tahun 1982, tercatat 66.000 ton, tahun 2004 hanya 4.000 ton per tahun. Penurunan yang sangat tajam ini dikategorikan pada angka E = 0,91. Angka ini menunjukkan kondisi yang sudah memprihatinkan. Dalam perhitungan ilmiah, angka ini pertunjuk kondisi yang berbahaya. Jika mencapai angka 1 berarti telah terjadi pemusnahan menyeluruh terhadap ikan-ikan di Selat Bali. ‘’Penyebabnya, adanya eksploitasi yang over pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,‘’ kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Banyuwangi, Ir. Puji Raharjo.

Salah satu penyebab turunnya hasil tangkapan ikan adalah masuknya nelayan pendatang yang dikenal dengan nelayan andon. Nelayan andon yang menggunakan alat tangkap mirip pukat harimau disinyalir telah melakukan eksploitasi berlebihan di perairan Selat Bali. Bukan hanya ikan besar yang ditangkap, tapi semua jenis ikan kecil mudah terjaring. Nelayan andon, lanjut Puji Raharjo, sebenarnya tidak dibolehkan beroperasi di Selat Bali. Kenyataannya mereka tetap berkeliaran di sini. Jika hal ini dibiarkan ikan di Selat Bali akan habis karena proses perkembangbiakannya terputus.
Menurunnya hasil tangkapan juga dipengaruhi rusaknya terumbu karang yang menjadi tempat tinggal segala ikan. Kerusakan ini lebih banyak disebabkan penggunaan alat-alat beracun seperti bom dan zat kimia lainnya.

Pemkab Banyuwangi telah mengambil beberapa langkah kebijakan, di antaranya mengadakan perbaikan terumbu karang di Selat Bali yang membentang sepanjang 175 km. Untuk mengembalikan fungsi lahan di kawasan pesisir, pemerintah kembali menggalakkan penanaman pohon bakau. “Kami juga melarang nelayan andon ikut menangkap ikan di Selat Bali,” tambah Puji Raharjo. - udi

Belantik ikan Muncar



Hikmah Ikan Asin buat Halimah

KEMURAHAN perairan Selat Bali sepertinya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Melimpahnya hasil ikan telah membuat ribuan nelayan Muncar berubah menjadi kaum penggerak di sektor ekonomi. Berkat kemurahannya pula, banyak nelayan Muncar bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.Tiap tahun, dari ratusan calon jemaah haji Banyuwangi, hampir 60% berasal dari kalangan nelayan Muncar. Pasalnya, saat-saat laut Selat Bali memberikan berkahnya, dalam sekejap nelayan Muncar mampu berubah menjadi jutawan.

Hikimah itu juga dirasakan Halimah, pengusaha ikan asin di Muncar. Halimah yang lahir 57 tahun lalu ini menuaikan ibadah haji bersama suaminya, Supri, dua tahun lalu. Sebenarnya, tempat usaha ikan asin yang digeluti sejak 25 tahun lalu itu terlihat sederhana. Bersama anggota keluarganya, ibu yang memiliki empat putra ini menghabiskan hari-harinya untuk mengembangkan usaha ikan asin.

Warga Desa Kedungrejo ini bercerita, sebelum sukses menggeluti usaha ikan asin, dia pernah menjadi buruh penguras perahu. Pekerjaan seperti itu dilakoninya sejak remaja. Pekerjaan itu baru berhenti ketika bertemu Supri dan memutuskan untuk menikah. Pasangan muda ini tetap memilih nelayan sebagai penyambung hidupnya. Mereka membuat banjang yang dibangun di tengah laut. Selama lima tahun, usaha banjang mereka makin membuahkan hasil.Sayang, usaha itu harus gulung tikar. Halimah memutuskan kembali ke daratan dan menjadi pedagang ikan. Dari usaha berdagang ikan ini, Halimah mampu menyisihkan hasil, hingga akhirnya memutuskan untuk membuka usaha ikan asin di pinggir pantai bersama keluarganya.

Meski terkesan sederhana, usaha ikan asin yang digeluti Halimah sudah terkenal hingga ke beberapa daerah lain. Pedagang besar ikan asin dari Jakarta, Bandung dan Surabaya, sering memesan ikan asin kepadanya.Jika musim panen ikan tiba, tiap hari Halimah mampu mengantongi hasil Rp 1.000.000 - 2.000.000. “Pada musin ikan, satu hari bisa menjual 10 ton ikan asin,” tuturnya.Saat musim hujan tiba, usaha ikan asinnya nyaris tidak bisa berkutik. Suatu kali, puluhan ton ikan yang siap dijemur terpaksa dialihkan ke pengusaha tepung karena terus membusuk. “Saya sempat menjual semua perhiasan untuk menutupi kerugian,” kenangnya.Di Muncar banyak sosok yang memiliki kisah seperti Halimah. Dari ketekunannya menerima berkah dewi laut, mereka bisa sukses dan mendapatkan apa yang diimpikan. - udi cybertokoh.com


Demikian artikel dari Anak Nelayan tentang Muncar Pertahankan Peralatan Tradisional , semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua, Terima kasih

Tag : muncar, nelayan
Back To Top